Jumat, 15 April 2016

KEBANGSAAN DENGAN DASAR ISLAM

Dengan darah dan air mata, telah kita beli kemerdekaan ini. Syukur Alhamdulillah kita telah mempunyai sebuah Negara yang besar. Mungkin Negara yang keenam besarnya dalam dunia ini. Salah satu dasar yang telah kita pilih, ialah Kebangsaan. Tetapi rasa kebangsaan, bisa mendorong menimbulkan kekuatan dan bisa juga menimbulkan chauvinisme, kebangsaan sempit.
“Yang di awak segala benar, yang di orang segala bukan" Rasa kebangsaan bisa menimbulkan semacam Hitler-isme, dan itulah yang menghancur leburkan Jerman. Kita terdiri dari berbagai ragam suku bangsa, dan setiap sukubangsa mempunyai kemegahan sendiri, mempunyai "dongeng" sendiri, tentang kebesaran nenek moyangnya. Mempunyai "pahlawan" sendiri, pahlawan khayali! Jika sukubangsa Jawa memegahkan Gajah Mada-nya, Minangkabau pun mempunyai Cindur Mata, dan Melayu pun mempunyai Hang Tuah. Dan biasanya, bilamana "Pahlawan Khayal" itu telah lama mati, kian banyaklah ditimbulkan atas dirinya tambahan dongeng sehingga dari manusia biasa, mereka dinaikkan jadi dewa. Sebab itu maka kebangsaan yang demikian, dapatlah memecahkan persatuan yang telah kita capai dan kemerdekaan yang telah ada di dalam tangan kita. Tidaklah di luar daripada ukuran ilmu pengetahuan sejarah, jika saya katakan bahwasanya ajaran Agama Islam telah turut menanamkan rasa Kesatuan Kebangsaan yang ada sekarang ini, sejak ratusan tahun yang telah lalu.
Ajaran Islam menekankan rasa kebaktian di tanah mana, di daerah manapun kita berdiam. Kehidupan itu adalah Iman dan Amal Shaleh, dasarnya ialah Taqwa kepada Allah. Kepada orang tidak ditanyakan apakah bangsanya, yang ditanya lebih dahulu adalah keagamaannya dan baktinya! Berkali-kali sejarah menunjukkan bahwa orang dari daerah lain dapat menjadi orang besar dalam satu negeri, di dalam seluruh kepulauan Indonesia ini, walaupun nama Indonesia belum dikenal pada masa itu.
'Sunan Gunung Jati", atau Fatahillah, atau Maulana Hidayatullah, adalah keturunan Arab yang telah bercampur dengan darah Aceh. Dia menyiarkan Agama Islam ke Jawa Barat, dan dialah yang mendirikan Kerajaan Bantam dan Cirebon.
"Ki Gedeng Suro”, seorang bangsawan dari Demak, ketika di Demak timbul kekacauan, ia melarikan diri ke Palembang. Dia diterima dan diangkat menjadi Raja Islam yang pertama dalam Kerajaan Palembang. Orang-orang Melayu dari Malaka yang terpaksa meninggalkan tanah airnya, karena Portugis telah menaklukkan Kerajaan Islam Malaka (1511), mereka mengembara sampai ke Sulawesi dan menyiarkan Agama Islam di Makassar. Mereka dihormati sebagai saudara seagama, dan gelar "Incek" masih dipakai oleh keturunan Melayu itu di Makassar sampai sekarang. Demikian juga setelah Kerajaan Goa dan Tallo menerima Islam sebagai agama resmi di tahun 1603, yang dibawa ke dalam istana oleh Muballigh-muballigh dari Minangkabau, merekapun diterima dengan tangan terbuka. Mereka tidak dipandang hina sebagai "orang pendatang", karena yang mereka bawa bukanlah permusuhan, tetapi "Nur cahaya Ilahi”. Setelah Kerajaan Bugis dan Makassar jatuh ke dalam cengkeraman Kompeni Belanda, maka hangatnya nafas ke-Islam-an telah menjalar di seluruh rongga jiwa putera Bugis Makassar. Merekapun mengembara di seluruh Indonesia, kadang-kadang menghalang-halangi perjalanan kapal-kapal Kompeni, kadang-kadang menjadi penyiar Agama Islam pula.
"Karaeng Galesong" pergi ke Madura, dan diterima menjadi menantu oleh Trunojoyo. Dan berjuang bersama-sama melawan Kompeni Belanda.
"Syekh Yusuf Taju'l Khalwati" mengembara dari Makassar sampai ke Bantam, lalu diterima menjadi Mufti Kerajaan Bantam oleh Sultan Ageng Tirtayasa, dan berjuang pula di samping Sultan melawan Kompeni Belanda.
"Si Untung" diberi gelar bangsawan oleh Sultan Cirebon, "Surapati" dan diberi gelar bangsawan pula, oleh Amangkurat Mataram "Wironegoro”, padahal dia asal budak, asal dari pulau Bali dan dahulunya "kafir" penyembah berhala. Tetapi karena dia telah Islam dan berjuang untuk kemerdekaan, dia diterima menjadi bangsawan Jawa, dan berjuang pula melawan Kompeni Belanda. Sesudah punah keturunan pihak laki-laki dari Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam di Aceh, berkah-kali keturunan Arab yang telah berdarah Indonesia menjadi Sultan di Aceh, sampai empat Sultan. Dan diangkat juga orang Arab menjadi Sultan di Siak dan Pontianak dan di Perlis (Malaya). Dan setelah punah pula keturunan Arab, dirajakan di Aceh keturunan Bugis. Bahkan 7 Sultan Aceh turun temurun, sampai berjuang melawan Belanda di tahun 1870, adalah berdarah Bugis. Sultan Deli adalah keturunan Raja-raja Moghul di India! Islam tidak membedakan di antara keturunan Arab bangsa Said, dengan keturunan budak belian dari Bali, dan pengembara lautan dari Bugis, semuanya diterima dengan "Ahlan wasahlan”, yang dihitung bukan bangsa dan keturunan, tetapi bakti dan jasanya dan tujuan hidupnya.
Inilah pusaka nenek moyang, bekas ajaran Islam, yang harus kita pegang teguh menjadi modal untuk menegakkan kebangsaan kita sekarang ini. Jangan kita pindah kembali ke Zaman Jahiliyah, membuka si tambo lama yang dapat menimbulkan dendam sakit hati.
Bertambah mendalam ke-"Fanatik "-kan Agama Islam di satu daerah, bertambah luaslah dadanya menerima tetamu. Walaupun tetamu itu orang Kristen! Ingatlah di zaman perjuangan kemerdekaan! Tatkala tuan I.J. Kasimo seorang pemeluk Katholik berjalan dari desa ke desa bersama Dr. Soekhnan, meskipun rakyat Islam di desa itu tahu bahwa beliau seorang Katholik, dia telah dihormati sebagai menghormati Pak Kiman juga. Sampai sama-sama dibuatkan baju untuk mengembara di hutan! Sampai terlanjur dari mulut Pak Kasimo: "Ah! Biarlah saya menjadi Penasihat Masyumi saja !" Tatkala Sdr. Hoetasoit (ex Sekjen Kem. PP dan K) dan Ir. Sitompul turut berdarurat di daerah Minangkabau di zaman Agresi; Belanda yang kedua, dia disambut di kampung-kampung sebagai menyambut keluarga juga, walaupun orang tahu dia orang-orang Kristen. Demikian murni ajaran Islam, yang memandang orang karena baktinya, bukan karena suku bangsanya, maka haruslah kita kembali kepada ajaran itu, di dalam membina kebangsaan kita sekarang ini. Kita terdiri dari beribu pulau! Kita terdiri dari beratus suku bangsa, yang masing-masing mempunyai kemegahan sendiri. Untuk mengokohkan kesatuan, carilah alat perekat yang asli, teladan dari langit! Jangan dengan Gajah Mada, Hayam Wuruk, jangan dengan Hang Tuah dan Cindur Mata! Tetapi dengan ISLAM, karena itulah pokok damai kita!

Dari perbendaharaan lama

Buya Hamka

Rabu, 21 Oktober 2015

DIALOG ANTARA PRESIDEN SUKARNO DAN TEUNGKU MUHD. DAUD BEUREUEH


POLITIK Pemerintah Pusat mengenai perjuangan umat Islam menimbulkan
keresahan di kalangan rakyat Aceh. Dirasakan bahwa jalan bagi perjuangan Islam yang tadinya terbuka lebar, makin hari makin dipersempit sehingga harapan untuk mencapai cita-cita kian lama kian suram.
Pidato Presiden Sukarno di Amuntai yang menyatakan tidak menyukai lahirnya Negara Islam dari Republik Indonesia sangat mengecewakan rakyat Aceh yang ingin melaksanakan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat dan negara. Harapan rakyat ini dibuyarkan oleh pidato Presiden Sukarno tersebut. Padahal pada waktu kunjungannya ke Aceh yang pertama pada tahun 1947, beliau telah memberi harapan bagi perjuangan umat Islam Indonesia umumnya dan umat Islam Aceh khususnya. Dalam kunjungannya itu telah terjadi dialog antara beliau dan Tgk. Muhd. Daud Beureueh yang bagian terakhirnya berbunyi sebagai berikut:



Presiden : "Saya minta bantuan Kakak agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945."
Daud Beureueh: "Sdr. Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang "fisabilillah", perang untuk menegakkan agama Allah sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid."
Presiden : "Kakak ! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Tgk. Tjhik di Tiro dan lain-lain yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang bersemboyan "merdeka atau syahid."
Daud Beureueh: "Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu Sdr. Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada Sdr. Presiden, bahwa apabila perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan Syariat Islam di dalam daerahnya."
Presiden : "Mengenai hal itu Kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam."
Daud Beureueh: "Maafkan saya Sdr. Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan, bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari Sdr. Presiden."
Presiden : "Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan Kakak itu."
Daud Beureueh: "Alhamdulillah. Atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan
terima kasih banyak atas kebaikan hati Sdr. Presiden. Kami mohon, (sambil menyodorkan secarik kertas kepada Presiden) sudi kiranya Sdr. Presiden
menulis sedikit di atas kertas ini."
Mendengar ucapan Tgk. Muhd. Daud Beureueh itu, langsung Presiden Sukarno menangis terisak-isak. Air matanya yang mengalir di pipinya telah membasahi bajunya. Dalam keadaan terisak-isak Presiden Sukarno berkata, "Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi Presiden. Apa gunanya menjadi Presiden kalau tidak dipercaya."
Langsung saja Tgk. Muhd. Daud Beureueh menjawab: "Bukan kami tidak percaya, Sdr. Presiden. Akan tetapi hanya sekedar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang." Lantas Presiden Sukarno sambil menyeka air matanya berkata, "Wallah, Billah, kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat Islam. Dan Wallah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar nanti dapat melaksanakan Syariat Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah Kakak masih ragu-ragu juga?"


Dijawab oleh Tgk. Muhd. Daud Beureueh: "Saya tidak ragu lagi Sdr. Presiden. Sekali lagi atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati Sdr. Presiden."
Menurut keterangan Tgk. Muhd. Daud Beureueh oleh karena iba
hatinya melihat Presiden menangis terisak-isak, beliau tidak sampai hati
lagi meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji Presiden Sukarno
itu.(Wawancara dengan Tgk. Muhd. Daud Beureueh.)

Sumber:
TEUNGKU MUHAMMAD DAUD BEUREUEH
Peranannya dalam pergolakan
di Aceh
Oleh
M. NUR EL IBRAHIMY