Turki Ottoman dan Aceh, dua kesultanan yang secara geografis terpisah sangat jauh. Dua kesultanan ini pernah memiliki kedekatan hubungan bilateral yang terjalin cukup lama, yakni dari antara abad ke-16 hingga abad ke-19.
Sebenarnya Aceh bukanlah negara pertama di Asia Tenggara yang pernah memiliki hubungan dengan Ottoman.
Kesultanan Samudera Pasai juga tercatat pernah memiliki hubungan dengan pedagang dari Turki, dimana hubungan perdagangan tersebut terjalin karena pada awalnya banyak pedagang Turki yang ikut dengan rombongan pedagang India ke beberapa kerajaan di Nusantara. Hal ini juga diperkuat oleh rekomendasi seorang musafir muslim terkenal dari Afrika Utara, yaitu Ibnu Battuta yang pernah berkunjung ke Samudera Pasai.
Hubungan antara Aceh dan Ottoman dimulai ketika Aceh yang menganggap kedatangan Portugis di Malaka sebagai ancaman. Aceh pun mengirimkan duta ke Ottoman untuk meminta sokongan dan bantuan. Pengiriman duta oleh Sultan Alauddin Al-Qahhar ke Ottoman dikarenakan sang sultan menganggap Ottoman, salah satu negara terbesar saat itu, dan memiliki kesamaan agama dengan Aceh, mungkin saja bisa membantu Aceh mencegah ekspansi politik dan perdagangan Portugis di Selat Malaka. Isu agama pun tentu saja dimainkan secara ekstensif disini. Surat beliau ditujukan kepada Sultan Suleiman Al-Kanuni, atau Suleiman yang Luar Biasa, namun surat tersebut baru sampai pada masa pemerintahan Sultan Selim II, putra dan penerus Suleiman.
Pengiriman bantuan dari Ottoman ke Aceh sempat tertunda karena armada yang dipersiapkan untuk membantu Aceh harus dikirim terlebih dahulu ke Yaman untuk meredakan pemberontakan yang terjadi di sana. Barulah pada tahun 1566, bantuan dari Ottoman tiba di Aceh dibawah pimpinan Kurdoglu Hizir Reis.
Dikatakan Aceh membayar bantuan tersebut dengan emas, permata, dan beras. Dibidang militer, Ottoman mengajari Aceh bagaimana cara menciptakan meriam. Pada abad ke 17, Aceh bisa berbangga hati karena bisa membuat meriam perunggu ukuran sedang. Bahkan pada saat itu atas bantuan Ottoman, Aceh juga berhasil membuat senapan putar bergagang dan arquebus.
Sebenarnya Aceh bukanlah negara pertama di Asia Tenggara yang pernah memiliki hubungan dengan Ottoman.
Kesultanan Samudera Pasai juga tercatat pernah memiliki hubungan dengan pedagang dari Turki, dimana hubungan perdagangan tersebut terjalin karena pada awalnya banyak pedagang Turki yang ikut dengan rombongan pedagang India ke beberapa kerajaan di Nusantara. Hal ini juga diperkuat oleh rekomendasi seorang musafir muslim terkenal dari Afrika Utara, yaitu Ibnu Battuta yang pernah berkunjung ke Samudera Pasai.
Hubungan antara Aceh dan Ottoman dimulai ketika Aceh yang menganggap kedatangan Portugis di Malaka sebagai ancaman. Aceh pun mengirimkan duta ke Ottoman untuk meminta sokongan dan bantuan. Pengiriman duta oleh Sultan Alauddin Al-Qahhar ke Ottoman dikarenakan sang sultan menganggap Ottoman, salah satu negara terbesar saat itu, dan memiliki kesamaan agama dengan Aceh, mungkin saja bisa membantu Aceh mencegah ekspansi politik dan perdagangan Portugis di Selat Malaka. Isu agama pun tentu saja dimainkan secara ekstensif disini. Surat beliau ditujukan kepada Sultan Suleiman Al-Kanuni, atau Suleiman yang Luar Biasa, namun surat tersebut baru sampai pada masa pemerintahan Sultan Selim II, putra dan penerus Suleiman.
Pengiriman bantuan dari Ottoman ke Aceh sempat tertunda karena armada yang dipersiapkan untuk membantu Aceh harus dikirim terlebih dahulu ke Yaman untuk meredakan pemberontakan yang terjadi di sana. Barulah pada tahun 1566, bantuan dari Ottoman tiba di Aceh dibawah pimpinan Kurdoglu Hizir Reis.
Dikatakan Aceh membayar bantuan tersebut dengan emas, permata, dan beras. Dibidang militer, Ottoman mengajari Aceh bagaimana cara menciptakan meriam. Pada abad ke 17, Aceh bisa berbangga hati karena bisa membuat meriam perunggu ukuran sedang. Bahkan pada saat itu atas bantuan Ottoman, Aceh juga berhasil membuat senapan putar bergagang dan arquebus.
Hubungan Ottoman dengan Aceh mengakibatkan berkembangnya pertukaran antara Ottoman dengan Aceh dalam bidang militer, perdagangan, dan agama. Pada saat itu kapal – kapal Aceh sempat diizinkan mengibarkan bendera Ottoman. Hubungan erat antara Ottoman dengan Aceh ini sempat benar-benar menghambat misi Portugis untuk memonopoli perdagangan rempah – rempah. Portugis sempat ingin menyerang Aceh, namun gagal karena minimnya sumber daya manusianya di Laut Hindia.
Waktu terus berjalan, dan Aceh kembali mendapatkan ancaman yang kali ini datang dari Belanda. Pada tahun 1872 – 1873 Belanda ingin memperluas jajahannya, dan berniat untuk menyerang Aceh. Sultan Aceh pada saat itu, Mahmud Syah langsung mengirimkan surat ke Sultan Abdul Aziz dari Ottoman untuk kembali meminta bantuan. Namun pada saat ini, Sultan sudah mulai kehilangan kekuasaannya. Para menteri lah yang memegang kuasa lebih atas kesultanan pada saat itu, dan mereka lebih cenderung memilih untuk tidak mengirimkan bantuan ke Aceh, walau sang Sultan secara pribadi berkeinginan untuk membantu. Hal ini juga dipengaruhi oleh tekanan Inggris dan Perancis yang meminta Ottoman agar tidak ikut campur. Ottoman sendiri memang sudah memasuki periode kemunduran akhirnya, sampai negara tersebut dijuluki “Sick Man of Europe”, atau “Orang Sakit dari Eropa”. Kurang lebih 40 tahun kemudian, Kesultanan Ottoman pun menutup lembaran sejarahnya.
Sumber:
Majalah JASMERAH edisi 3 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar