RIWAYAT HIDUP
Tahun 1928 Abdul Halim Perdanakusuma mulai masuk Sekolah Rakyat yang dikenal dengan nama Hollands Inlandsche School (HIS) di kota Sampang dan lulus tahun 1935.
Kemudian ia melanjutkan sekolah setingkat SMP yang ketika itu bernama Middel Baar Uitgebreide Lager Onderwijs (MULO). Setelah selesai dari MULO dia melanjutkan Sekolah Pamong Projo di Kota Magelang yang bernama MOSVIA karena mengikuti harapan almarhum orang tuanya. Setelah menamatkan pendidikan Abdul Halim Perdanakusuma diangkat menjadi calon Mantri di Kantor Kabupaten Probolinggo Jawa Timur. Pada waktu itu dunia sedang diambang Perang Besar dan pada permulaan September 1939 pecahlah perang di Eropa antara Jerman melawan negara - negara sekutu.
Pada bulan Mei 1940 negeri Belanda diduduki Jerman, sedang Pemerintah jajahan Belanda di Indonesia mulai ketakutan melihat bahaya Jepang sebagai sekutu Jerman. Untuk menangkis serangan Jepang ini Pemerintah jajahan Belanda mengeluarkan peraturan Wajib Militer bagi rakyat Hindia-Belanda. Oleh Bupati Probolinggo, Sdr. Abdul Halim Perdanakusuma ditunjuk untuk memasuki pendidikan Perwira Angkatan Laut Belanda di Surabaya.
KAPTEN PENERBANG ROYAL AIR FORCE DI PERANG DUNIA II
Pada bulan Maret 1942 Jepang mulai mendaratkan pasukannya di Pulau Jawa. Angkatan Laut Belanda mengadakan perlawanan di Laut Jawa namun hancur oleh serangan Jepang. Sisa armada Angkatan Laut Belanda mundur ke daerah perairan di Cilacap, sesampainya di Cilacap Kapal Perang Torpedo Belanda di mana Abdul Halim Perdanakusuma sebagai anak buah kapal tenggelam dihantam Jepang. Anak buah kapal Torpedo termasuk Abdul Halim Perdanakusuma dapat diselamatkan oleh Kapal Perang Inggris dan diangkut ke Australia, yang kemudian hari dibawa ke India. Di India inilah perjalanan hidup Abdul Halim Perdanakusuma berubah. Kebiasaan melukis sejak disekolah ia manfaatkan kesempatan dikala senggang untuk melukis Panglima Armada Inggris di India yaitu Laksamana Mount Batten. Lukisan itu digantungkan dikamarnya. Pada suatu hari Laksamana Mount Batten mengadakan Inspeksi dan melihat lukisan tersebut. Mount Batten bertanya kepada Abdul Halim Perdanakusuma “siapa yang melukis saya?” Dijawab singkat “saya sendiri”. Sejak itu terjadi hubungan pribadi antara sang Panglima Armada dengan Abdul Halim Perdanakusuma. Oleh Sang Paglima, Abdul Halim Perdanakusuma diajukan untuk masuk pendidikan militer di Inggris, namun Abdul Halim minta untuk dipindahkan jurusan ke bagian Angkatan Udara. Sesampai di London Inggris, Abdul Halim Perdanakusuma dikirim untuk mengikuti pendidikan pada Royal Canadian Air Force (Angkatan Udara Kerajaan Kanada) jurusan Navigasi. Sehabis mengikuti pendidikan di Kanada, Abdul Halim Perdanakusuma ditempatkan di Angkatan Udara Kerajaan Inggris (Royal Air Force/RAF) sebagai Perwira Navigasi dan bertugas di pesawat pembom yang dikemudian hari ia dididik menjadi seorang penerbang.
Selama Perang Dunia II Abdul Halim Perdanakusuma masuk di kesatuan Squadron Tempur Angkatan Udara Kerajaan Inggris yang terdiri dari pesawat Lancaster dan Liberator.
Pada waktu itu ia telah menyandang pangkat Kapten Penerbang dengan pengalaman sudah empat puluh dua kali melakukan serangan udara terhadap Jerman baik pada waktu siang maupun malam hari. Suatu pengalaman yang tidak terlupakan oleh Abdul Halim Perdanakusuma adalah ketika pada tanggal 31 Desember 1944, disaat ia kembali dari melaksanakan mission serangan udara terhadap Jerman, ia dicegat oleh Pesawat Pemburu Jerman jenis Focke-Wulf yang bersenjatakan roket.
Dalam perang udara ini sekutu kehilangan 3 buah pesawat pembom jenis B-17 sedang pesawat Abdul Halim Perdanakusuma kembali mendarat dengan selamat di Inggris. Oleh karena itu Angkatan Udara Kerajaan Inggris, memberinya julukan “The Black Mascot”, yang berarti “si jimat hitam”. Selesai perang di Eropa, ia menunggu - nunggu waktu untuk pulang ke tanah air. Pada tanggal 29 September 1945 pasukan Inggris di bawah pimpinan Jenderal Christison mendarat di Tanjung Priok Batavia untuk menjalankan tugas melucuti senjata dari sisa tentara Jepang di Indonesia. Saat itu terlihat dalam rombongan pasukan Inggris tersebut seorang yang berkulit sawo matang, itulah dia Abdul Halim Perdanakusuma, Kapten Penerbang dari Royal Air Force”.
SEBAGAI PERINTIS AURI
Setiba di Indonesia, Abdul Halim Perdanakusuma bermaksud mengunjungi kakak sepupunya yang menjadi Residen Kediri, namun dalam perjalanan ini ia ditangkap dan dimasukkan ke penjara oleh Pasukan Republik Indonesia karena dicurigai sebagai tentara NICA. Melalui Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin akhirnya Abdul Halim Perdanakusuma dibebaskan. Setelah bebas dari penjara ia diajak oleh KSAU RI Surjadi Surjadarma agar turut mengabdi kepada perjuangan bangsa Indonesia dalam Angkatan Perang RI. Sebab negara dan bangsa Indonesia pada waktu itu memerlukan orang - orang yang berpengalaman serta ahli dalam dunia penerbangan.
Harapan Surjadi Surjadarma, ialah agar Abdul Halim Perdanakusuma ikut serta membina AURI. Untuk ini ia segera menyatakan kesediaannya. Pada tanggal 9 April 1946 TKR Jawatan Penerbangan secara resmi menjadi AURI dan Abdul Halim Perdanakusuma yang ikut membentuk lahirnya AURI menerima pangkat Komodor Udara. Dalam setiap perundingan antara APRI dengan Perwira - Perwira RAF, Komodor (Marsekal Pertama/Marsma) Abdul Halim Perdanakusuma selalu mendampingi KSAU. Bahkan Panglima Besar APRI Jenderal Sudirman selalu bertanya kepada Komodor Abdul Halim Perdanakusuma mengenai perkembangan AURI. Pada tanggal 29 Juli 1947 Pesawat Dakota VT-CLA ditembak jatuh oleh Pesawat Pemburu P-51 Mustang dari Angkatan Udara Kerajaan Belanda sehingga menewaskan Komodor Udara Agustinus Adi Sutjipto serta menewaskan Prof. Dr. Abdul Rachman Saleh. Jabatan Wakil KSAU yang tadinya dijabat oleh Agustinus Adi Sutjipto digantikan oleh Komodor Udara Abdul Halim Perdanakusuma, sekaligus merangkap sebagai Komandan Operasi AURI.
Sebagai penghargaan atas jasa dan
pengabdiannya terhadap Angkatan Udara, maka pimpinan TNI-AU menaikkan
pangkatnya menjadi Laksamana Muda Udara (sekarang Marsekal Muda Udara)
Anumerta. Untuk mengabadikan namanya, pada tanggal 17 Agustus 1952 nama Pangkalan
Udara Cililitan diubah menjadi Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Tanggal 15
Februari 1961, bersama-sama dengan penganugerahan bintang jasa kepada almarhum
Prof. dr. Abdulrachman Saleh, Halim Perdanakusuma memperoleh Bintang Mahaputra
tingkat IV. Penghargaan tertinggi diberikan Pemerintah berupa gelar Pahlawan
Nasional, dengan Surat Keputusan Presiden RI No. 063/TK/Tahun 1975, tanggal 9
Agustus 1975.
Tahun 1928 Abdul Halim Perdanakusuma mulai masuk Sekolah Rakyat yang dikenal dengan nama Hollands Inlandsche School (HIS) di kota Sampang dan lulus tahun 1935.
Kemudian ia melanjutkan sekolah setingkat SMP yang ketika itu bernama Middel Baar Uitgebreide Lager Onderwijs (MULO). Setelah selesai dari MULO dia melanjutkan Sekolah Pamong Projo di Kota Magelang yang bernama MOSVIA karena mengikuti harapan almarhum orang tuanya. Setelah menamatkan pendidikan Abdul Halim Perdanakusuma diangkat menjadi calon Mantri di Kantor Kabupaten Probolinggo Jawa Timur. Pada waktu itu dunia sedang diambang Perang Besar dan pada permulaan September 1939 pecahlah perang di Eropa antara Jerman melawan negara - negara sekutu.
Pada bulan Mei 1940 negeri Belanda diduduki Jerman, sedang Pemerintah jajahan Belanda di Indonesia mulai ketakutan melihat bahaya Jepang sebagai sekutu Jerman. Untuk menangkis serangan Jepang ini Pemerintah jajahan Belanda mengeluarkan peraturan Wajib Militer bagi rakyat Hindia-Belanda. Oleh Bupati Probolinggo, Sdr. Abdul Halim Perdanakusuma ditunjuk untuk memasuki pendidikan Perwira Angkatan Laut Belanda di Surabaya.
KAPTEN PENERBANG ROYAL AIR FORCE DI PERANG DUNIA II
Pada bulan Maret 1942 Jepang mulai mendaratkan pasukannya di Pulau Jawa. Angkatan Laut Belanda mengadakan perlawanan di Laut Jawa namun hancur oleh serangan Jepang. Sisa armada Angkatan Laut Belanda mundur ke daerah perairan di Cilacap, sesampainya di Cilacap Kapal Perang Torpedo Belanda di mana Abdul Halim Perdanakusuma sebagai anak buah kapal tenggelam dihantam Jepang. Anak buah kapal Torpedo termasuk Abdul Halim Perdanakusuma dapat diselamatkan oleh Kapal Perang Inggris dan diangkut ke Australia, yang kemudian hari dibawa ke India. Di India inilah perjalanan hidup Abdul Halim Perdanakusuma berubah. Kebiasaan melukis sejak disekolah ia manfaatkan kesempatan dikala senggang untuk melukis Panglima Armada Inggris di India yaitu Laksamana Mount Batten. Lukisan itu digantungkan dikamarnya. Pada suatu hari Laksamana Mount Batten mengadakan Inspeksi dan melihat lukisan tersebut. Mount Batten bertanya kepada Abdul Halim Perdanakusuma “siapa yang melukis saya?” Dijawab singkat “saya sendiri”. Sejak itu terjadi hubungan pribadi antara sang Panglima Armada dengan Abdul Halim Perdanakusuma. Oleh Sang Paglima, Abdul Halim Perdanakusuma diajukan untuk masuk pendidikan militer di Inggris, namun Abdul Halim minta untuk dipindahkan jurusan ke bagian Angkatan Udara. Sesampai di London Inggris, Abdul Halim Perdanakusuma dikirim untuk mengikuti pendidikan pada Royal Canadian Air Force (Angkatan Udara Kerajaan Kanada) jurusan Navigasi. Sehabis mengikuti pendidikan di Kanada, Abdul Halim Perdanakusuma ditempatkan di Angkatan Udara Kerajaan Inggris (Royal Air Force/RAF) sebagai Perwira Navigasi dan bertugas di pesawat pembom yang dikemudian hari ia dididik menjadi seorang penerbang.
Selama Perang Dunia II Abdul Halim Perdanakusuma masuk di kesatuan Squadron Tempur Angkatan Udara Kerajaan Inggris yang terdiri dari pesawat Lancaster dan Liberator.
Pada waktu itu ia telah menyandang pangkat Kapten Penerbang dengan pengalaman sudah empat puluh dua kali melakukan serangan udara terhadap Jerman baik pada waktu siang maupun malam hari. Suatu pengalaman yang tidak terlupakan oleh Abdul Halim Perdanakusuma adalah ketika pada tanggal 31 Desember 1944, disaat ia kembali dari melaksanakan mission serangan udara terhadap Jerman, ia dicegat oleh Pesawat Pemburu Jerman jenis Focke-Wulf yang bersenjatakan roket.
Dalam perang udara ini sekutu kehilangan 3 buah pesawat pembom jenis B-17 sedang pesawat Abdul Halim Perdanakusuma kembali mendarat dengan selamat di Inggris. Oleh karena itu Angkatan Udara Kerajaan Inggris, memberinya julukan “The Black Mascot”, yang berarti “si jimat hitam”. Selesai perang di Eropa, ia menunggu - nunggu waktu untuk pulang ke tanah air. Pada tanggal 29 September 1945 pasukan Inggris di bawah pimpinan Jenderal Christison mendarat di Tanjung Priok Batavia untuk menjalankan tugas melucuti senjata dari sisa tentara Jepang di Indonesia. Saat itu terlihat dalam rombongan pasukan Inggris tersebut seorang yang berkulit sawo matang, itulah dia Abdul Halim Perdanakusuma, Kapten Penerbang dari Royal Air Force”.
SEBAGAI PERINTIS AURI
Setiba di Indonesia, Abdul Halim Perdanakusuma bermaksud mengunjungi kakak sepupunya yang menjadi Residen Kediri, namun dalam perjalanan ini ia ditangkap dan dimasukkan ke penjara oleh Pasukan Republik Indonesia karena dicurigai sebagai tentara NICA. Melalui Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin akhirnya Abdul Halim Perdanakusuma dibebaskan. Setelah bebas dari penjara ia diajak oleh KSAU RI Surjadi Surjadarma agar turut mengabdi kepada perjuangan bangsa Indonesia dalam Angkatan Perang RI. Sebab negara dan bangsa Indonesia pada waktu itu memerlukan orang - orang yang berpengalaman serta ahli dalam dunia penerbangan.
Harapan Surjadi Surjadarma, ialah agar Abdul Halim Perdanakusuma ikut serta membina AURI. Untuk ini ia segera menyatakan kesediaannya. Pada tanggal 9 April 1946 TKR Jawatan Penerbangan secara resmi menjadi AURI dan Abdul Halim Perdanakusuma yang ikut membentuk lahirnya AURI menerima pangkat Komodor Udara. Dalam setiap perundingan antara APRI dengan Perwira - Perwira RAF, Komodor (Marsekal Pertama/Marsma) Abdul Halim Perdanakusuma selalu mendampingi KSAU. Bahkan Panglima Besar APRI Jenderal Sudirman selalu bertanya kepada Komodor Abdul Halim Perdanakusuma mengenai perkembangan AURI. Pada tanggal 29 Juli 1947 Pesawat Dakota VT-CLA ditembak jatuh oleh Pesawat Pemburu P-51 Mustang dari Angkatan Udara Kerajaan Belanda sehingga menewaskan Komodor Udara Agustinus Adi Sutjipto serta menewaskan Prof. Dr. Abdul Rachman Saleh. Jabatan Wakil KSAU yang tadinya dijabat oleh Agustinus Adi Sutjipto digantikan oleh Komodor Udara Abdul Halim Perdanakusuma, sekaligus merangkap sebagai Komandan Operasi AURI.
Tugas Penerbangan Yang Dijalankan
Salah satu tugas yang dibebankan ke pundak Angkatan Udara ialah membawa para pejabat yang akan melakukan perundingan dengan pihak Serikat di Jakarta tentang pengangkutan tawanan perang dan kaum interniran. Kesempatan itu sekaligus ingin dimanfaatkan untuk mengembangkan sayap tanah air dalam rangka pembinaan wilayah udara di daerah-daerah. Tanggal 23 April 1946 tiga buah pesawat Tachikawa 98 Cukiu tinggal landas dari Pangkalan Udara Maguwo, Yogyakarta, menuju Jakarta. Ketiga pesawat tersebut berhasil mendarat di lapangan terbang Kemayoran, Jakarta, setelah menempuh penerbangan selama satu tiga perempat jam. Pesawat yang ditumpangi Komodor Muda Udara Halim mengalami kerusakan pada alat pendaratnya. Tetapi penerbang dan penumpangnya selamat. Dalam pesawat itu Halim bertindak sebagai navigator.
Esok harinya, dari Jakarta dilakukan terbang formasi ke lapangan terbang Gorda di Banten. Dari situ, melintasi Selat Sunda penerbangan dilanjutkan ke Sumatera Selatan. Karena keadaan cuaca sangat buruk, pesawat tidak dapat melanjutkan perjalanan dan kembali ke Banten. Sesudah beristirahat di Banten, ketiga pesawat itu kembali ke Yogya.
Penerbangan formasi tidak hanya terbatas dilakukan ke jurusan barat saja, melainkan ke segala jurusan. Yang menarik perhatian di antara penerbangan ini adalah penerbangan yang untuk pertama kali dilakukan ke pulau Madura pada tanggal 12 Mei 1946. Penerbangnya adalah Opsir Udara I H. Sujono dan Navigator Halim. Oleh karena lapangan terbang di pulau Madura belum disiapkan, maka mereka terpaksa melakukan pendaratan darurat di sebuah lapangan pembuatan garam. Dari Madura, Halim kembali melakukan penerbangan ke arah barat yaitu ke Sumatera Selatan. Pada tanggal 20 September 1946 bersama pilot Opsir II Imam Suwongso Wirjosaputro berangkat dari Yogya menuju Pangkalan Udara Karang Endah, dekat Palembang, untuk meresmikan pembukaan pangkalan tersebut.
Salah satu tugas yang dibebankan ke pundak Angkatan Udara ialah membawa para pejabat yang akan melakukan perundingan dengan pihak Serikat di Jakarta tentang pengangkutan tawanan perang dan kaum interniran. Kesempatan itu sekaligus ingin dimanfaatkan untuk mengembangkan sayap tanah air dalam rangka pembinaan wilayah udara di daerah-daerah. Tanggal 23 April 1946 tiga buah pesawat Tachikawa 98 Cukiu tinggal landas dari Pangkalan Udara Maguwo, Yogyakarta, menuju Jakarta. Ketiga pesawat tersebut berhasil mendarat di lapangan terbang Kemayoran, Jakarta, setelah menempuh penerbangan selama satu tiga perempat jam. Pesawat yang ditumpangi Komodor Muda Udara Halim mengalami kerusakan pada alat pendaratnya. Tetapi penerbang dan penumpangnya selamat. Dalam pesawat itu Halim bertindak sebagai navigator.
Esok harinya, dari Jakarta dilakukan terbang formasi ke lapangan terbang Gorda di Banten. Dari situ, melintasi Selat Sunda penerbangan dilanjutkan ke Sumatera Selatan. Karena keadaan cuaca sangat buruk, pesawat tidak dapat melanjutkan perjalanan dan kembali ke Banten. Sesudah beristirahat di Banten, ketiga pesawat itu kembali ke Yogya.
Penerbangan formasi tidak hanya terbatas dilakukan ke jurusan barat saja, melainkan ke segala jurusan. Yang menarik perhatian di antara penerbangan ini adalah penerbangan yang untuk pertama kali dilakukan ke pulau Madura pada tanggal 12 Mei 1946. Penerbangnya adalah Opsir Udara I H. Sujono dan Navigator Halim. Oleh karena lapangan terbang di pulau Madura belum disiapkan, maka mereka terpaksa melakukan pendaratan darurat di sebuah lapangan pembuatan garam. Dari Madura, Halim kembali melakukan penerbangan ke arah barat yaitu ke Sumatera Selatan. Pada tanggal 20 September 1946 bersama pilot Opsir II Imam Suwongso Wirjosaputro berangkat dari Yogya menuju Pangkalan Udara Karang Endah, dekat Palembang, untuk meresmikan pembukaan pangkalan tersebut.
Untuk memperoleh gambaran tentang
peranan Komodor Udara Abdul Halim Perdanakusuma dalam melaksanakan tugasnya di
AURI, antara lain adalah sebagai berikut:
a. Pada tanggal 12 Mei 1946 bersama dengan Perwira Udara Sujono menerbangkan pesawat Cureng dan mendarat di tempat pengeringan garam di Sumenep.
b. Pada tanggal 20 September 1946 bersama Imam Wirjosaputro mengadakan penerbangan ke Sumatera Selatan dalam rangka persiapan Lapangan Terbang di Sumatera.
c. Pada tanggal 25 September 1946 kembali ke Lapangan Udara Maguwo.
d. Melakukan penerbangan udara dengan menerobos blokade Belanda untuk membawa senjata, amunisi dan obat - obatan ke berbagai pelosok tanah air untuk para pejuang RI.
e. Pada tanggal 29 Juli 1947 sebagai Perwira Operasi Udara merencanakan serangan dan pengeboman udara terhadap kedudukan tentara Belanda di Semarang, Ambarawa dan Salatiga.
f. Pada tanggal 17 Oktober 1947 ikut merencanakan penerjunan pasukan payung yang pertama kali di daerah Kalimantan Selatan dalam rangka membantu perjuangan rakyat Kalimantan.
g. Komodor Udara Halim Perdanakusuma sebagai flight leader dalam formasi penerbangan dari lapangan udara Maguwo ke Kemayoran Jakarta.
h. Pada bulan Oktober 1947 bersama dengan Komodor Udara Iswahyudi membangun, membentuk dan membina Angkatan Udara di Sumatera dengan kedudukannya di Bukit Tinggi.
Perjuangan Dalam Menghadapi Agresi Militer Belanda
Menghadapi Agresi Militer I Belanda, AURI tidak tinggal diam. Agresi militer ini dilancarkan Belanda pada hari Minggu tanggal 21 Juli 1947. Mereka memulai aksinya dengan melakukan pemboman dan penyerangan dari udara Secara serentak terhadap semua pangkalan udara Republik sehingga banyak menimbulkan kerusakan. Hanya lapangan terbang Maguwo, Yogya, pada hari itu terhindar dari serangan musuh karena tertutup kabut tebal. Seluruh rangkaian pangkalan udara yang memanjang dari Jawa Barat hingga Jawa Timur mendapat gilirannya.
Mereka menjatuhkan bom-bom ringan dan roket, menyerang dengan senapan mesin dan meriam terhadap lapangan terbang Gorda dekat Serang, Kalijati dekat Subang, Cibeureum dekat TasikmaIaya, Panasan dekat Solo, Maospati dekat Madiun dan Jatiwangi dekat Lumajang. Lapangan terbang Bugis dekat Malang mengalami kerusakan paling berat. Sejumlah besar pesawat terbang dihancurkan di landasan oleh pesawat-pesawat penempur musuh. Dengan demikian seolah-olah Angkatan Udara RI telah lumpuh. Untuk menunjukkan kepada dunia luar bahwa AURI masih hidup, selaku perwira operasi, Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma mendapat perintah untuk menyusun serangan balas terhadap lawan. Setelah rencana tersusun dengan baik ditetapkanlah hari H dan jam D nya. Demikianlah, pada tanggal 29 Juli 1947 pukul 05.00 pagi 3 buah pesawat telah siap di lapangan terbang Maguwo untuk melakukan serangan udara. Kepala Staf Angkatan Udara Komodor Udara S. Suryadarma ikut melepas keberangkatannya. Mula-mula lepas landas sebuah pesawat Mitsubhisi 98 Guntei jenis pembom penyelundup dengan penerbang Muljono dan penembak Abdulrachman menuju sasaran Semarang. Pesawat diperlengkapi dengan senapan mesin dan beberapa buah bom seberat 40 kg. Kemudian menyusul 2 buah pesawat Cureng masing-masing dengan penerbang Suharnoko Harbani dan penembak udara Kaput, menuju sasaran Ambarawa dan sebuah lagi dengan penerbang Sutardjo Sigit dan penembak udara Sutardjo dengan sasaran Salatiga. Tiap-tiap pesawat dilengkapi dengan 2 buah bom berat 50 kg yang diletakkan di kiri sayap pesawat bagian bawah, ditambah dengan satu peti peluru mortir seberat 15 kg. Misi serangan udara atas daerah pendudukan musuh ini berhasil mencapai target seperti apa yang direncanakan dan semuanya kembali ke pangkalan dengan selamat.
Selain itu, pada waktu dilakukan operasi penerjunan pasukan payung ke Kalimantan, Halim selaku Perwira Operasi banyak memberikan andil dalam pelaksanaan. Operasi ini dilaksanakan pada tanggal 17 Oktober 1947 dengan menggunakan pesawat Dakota RI-002 dan berhasil dengan baik.
Agresi Militer I Belanda sangat dirasakan akibatnya oleh Republik Indonesia. Untuk menembus blokade Belanda terhadap daerah Republik, telah ditempuh berbagai cara, salah satu adalah lewat udara. Republik berhasil menarik simpati dunia luar antara lain dengan datangnya pesawat-pesawat asing ke Indonesia. Selain itu dirasakan pula betapa pentingnya perhubungan antara Jawa dan Sumatera. Keduanya merupakan daerah terpisah yang harus dapat dihubungi satu sama lain. Baru pada tahun 1947 dilakukan usaha nyata ke arah itu. Pesawat-pesawat bermotor satu buatan Jepang tidak sesuai untuk Sumatera. Daerahnya masih berhutan rimba luas, jarak satu kota dengan kota lainnya berjauhan, penduduk jarang dan jalan-jalan buruk. Berhubung dengan itu pada permulaan tahun 1947 disewa sebuah pesawat pengangkut Dakota dari luar negeri. Ibukota Sumatera, Bukittinggi, harus mempunyai hubungan langsung dengan Yogya. Sesudah lapangan terbang disiapkan secara gotong-royong oleh rakyat, tepat pada hari yang telah ditentukan mendaratlah sebuah pesawat Dakota yang pertama di Bukittinggi. Akan tetapi berhubung dengan suasana politik, perhubungan udara itu tidak dapat diselenggarakan secara tetap. Karena kesulitan perhubungan itu konsolidasi di lingkungan AURI sulit pula dilaksanakan. Namun oleh Pimpinan Tertinggi Tentara telah digariskan, bagaimana pun juga AURI harus dibangun di Sumatera. Keputusan ini diambil mengingat situasi politik semakin genting, dimana Belanda sewaktu-waktu dapat merebut dan menduduki pangkalan-pangkalan udara yang berada di Jawa. Apabila hal tersebut terjadi, maka Sumatera dijadikan basis perjuangan dan persiapan ke arah itu harus dilakukan jauh-jauh sebelumnya.
a. Pada tanggal 12 Mei 1946 bersama dengan Perwira Udara Sujono menerbangkan pesawat Cureng dan mendarat di tempat pengeringan garam di Sumenep.
b. Pada tanggal 20 September 1946 bersama Imam Wirjosaputro mengadakan penerbangan ke Sumatera Selatan dalam rangka persiapan Lapangan Terbang di Sumatera.
c. Pada tanggal 25 September 1946 kembali ke Lapangan Udara Maguwo.
d. Melakukan penerbangan udara dengan menerobos blokade Belanda untuk membawa senjata, amunisi dan obat - obatan ke berbagai pelosok tanah air untuk para pejuang RI.
e. Pada tanggal 29 Juli 1947 sebagai Perwira Operasi Udara merencanakan serangan dan pengeboman udara terhadap kedudukan tentara Belanda di Semarang, Ambarawa dan Salatiga.
f. Pada tanggal 17 Oktober 1947 ikut merencanakan penerjunan pasukan payung yang pertama kali di daerah Kalimantan Selatan dalam rangka membantu perjuangan rakyat Kalimantan.
g. Komodor Udara Halim Perdanakusuma sebagai flight leader dalam formasi penerbangan dari lapangan udara Maguwo ke Kemayoran Jakarta.
h. Pada bulan Oktober 1947 bersama dengan Komodor Udara Iswahyudi membangun, membentuk dan membina Angkatan Udara di Sumatera dengan kedudukannya di Bukit Tinggi.
Perjuangan Dalam Menghadapi Agresi Militer Belanda
Menghadapi Agresi Militer I Belanda, AURI tidak tinggal diam. Agresi militer ini dilancarkan Belanda pada hari Minggu tanggal 21 Juli 1947. Mereka memulai aksinya dengan melakukan pemboman dan penyerangan dari udara Secara serentak terhadap semua pangkalan udara Republik sehingga banyak menimbulkan kerusakan. Hanya lapangan terbang Maguwo, Yogya, pada hari itu terhindar dari serangan musuh karena tertutup kabut tebal. Seluruh rangkaian pangkalan udara yang memanjang dari Jawa Barat hingga Jawa Timur mendapat gilirannya.
Mereka menjatuhkan bom-bom ringan dan roket, menyerang dengan senapan mesin dan meriam terhadap lapangan terbang Gorda dekat Serang, Kalijati dekat Subang, Cibeureum dekat TasikmaIaya, Panasan dekat Solo, Maospati dekat Madiun dan Jatiwangi dekat Lumajang. Lapangan terbang Bugis dekat Malang mengalami kerusakan paling berat. Sejumlah besar pesawat terbang dihancurkan di landasan oleh pesawat-pesawat penempur musuh. Dengan demikian seolah-olah Angkatan Udara RI telah lumpuh. Untuk menunjukkan kepada dunia luar bahwa AURI masih hidup, selaku perwira operasi, Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma mendapat perintah untuk menyusun serangan balas terhadap lawan. Setelah rencana tersusun dengan baik ditetapkanlah hari H dan jam D nya. Demikianlah, pada tanggal 29 Juli 1947 pukul 05.00 pagi 3 buah pesawat telah siap di lapangan terbang Maguwo untuk melakukan serangan udara. Kepala Staf Angkatan Udara Komodor Udara S. Suryadarma ikut melepas keberangkatannya. Mula-mula lepas landas sebuah pesawat Mitsubhisi 98 Guntei jenis pembom penyelundup dengan penerbang Muljono dan penembak Abdulrachman menuju sasaran Semarang. Pesawat diperlengkapi dengan senapan mesin dan beberapa buah bom seberat 40 kg. Kemudian menyusul 2 buah pesawat Cureng masing-masing dengan penerbang Suharnoko Harbani dan penembak udara Kaput, menuju sasaran Ambarawa dan sebuah lagi dengan penerbang Sutardjo Sigit dan penembak udara Sutardjo dengan sasaran Salatiga. Tiap-tiap pesawat dilengkapi dengan 2 buah bom berat 50 kg yang diletakkan di kiri sayap pesawat bagian bawah, ditambah dengan satu peti peluru mortir seberat 15 kg. Misi serangan udara atas daerah pendudukan musuh ini berhasil mencapai target seperti apa yang direncanakan dan semuanya kembali ke pangkalan dengan selamat.
Selain itu, pada waktu dilakukan operasi penerjunan pasukan payung ke Kalimantan, Halim selaku Perwira Operasi banyak memberikan andil dalam pelaksanaan. Operasi ini dilaksanakan pada tanggal 17 Oktober 1947 dengan menggunakan pesawat Dakota RI-002 dan berhasil dengan baik.
Agresi Militer I Belanda sangat dirasakan akibatnya oleh Republik Indonesia. Untuk menembus blokade Belanda terhadap daerah Republik, telah ditempuh berbagai cara, salah satu adalah lewat udara. Republik berhasil menarik simpati dunia luar antara lain dengan datangnya pesawat-pesawat asing ke Indonesia. Selain itu dirasakan pula betapa pentingnya perhubungan antara Jawa dan Sumatera. Keduanya merupakan daerah terpisah yang harus dapat dihubungi satu sama lain. Baru pada tahun 1947 dilakukan usaha nyata ke arah itu. Pesawat-pesawat bermotor satu buatan Jepang tidak sesuai untuk Sumatera. Daerahnya masih berhutan rimba luas, jarak satu kota dengan kota lainnya berjauhan, penduduk jarang dan jalan-jalan buruk. Berhubung dengan itu pada permulaan tahun 1947 disewa sebuah pesawat pengangkut Dakota dari luar negeri. Ibukota Sumatera, Bukittinggi, harus mempunyai hubungan langsung dengan Yogya. Sesudah lapangan terbang disiapkan secara gotong-royong oleh rakyat, tepat pada hari yang telah ditentukan mendaratlah sebuah pesawat Dakota yang pertama di Bukittinggi. Akan tetapi berhubung dengan suasana politik, perhubungan udara itu tidak dapat diselenggarakan secara tetap. Karena kesulitan perhubungan itu konsolidasi di lingkungan AURI sulit pula dilaksanakan. Namun oleh Pimpinan Tertinggi Tentara telah digariskan, bagaimana pun juga AURI harus dibangun di Sumatera. Keputusan ini diambil mengingat situasi politik semakin genting, dimana Belanda sewaktu-waktu dapat merebut dan menduduki pangkalan-pangkalan udara yang berada di Jawa. Apabila hal tersebut terjadi, maka Sumatera dijadikan basis perjuangan dan persiapan ke arah itu harus dilakukan jauh-jauh sebelumnya.
Gugur dalam Tugas
Sesudah menyelesaikan tugas di Bangkok, RI-003 kembali berangkat menuju Singapura. Dalam perjalanan kembali inilah secara tiba-tiba di daerah Perak, Malaysia, cuaca buruk menyerangnya. Pesawat jatuh di pantai Tanjung Hantu, Perak, Malaysia.
Laporan pertama tentang kecelakaan diterima oleh polisi Lumut dari 2 orang warga Cina penebang kayu bemama Wong Fatt dan Wong Kwang pada sekitar pukul 16.30 tanggal 14 Desember 1947. Seorang petugas kepolisian berbangsa Inggris bernama Burras segera pergi ke tempat musibah. Pada pukul 18.00 ia tiba di tempat namun tidak menemukan sesuatu, air sedang pasang naik. Selanjutnya keesokan harinya Kepala Polisi Lumut bernama Che Wan dan seorang anggota Polisi Inggris bernama Samson berangkat ke tempat kecelakaan dan tiba di tempat pada pukul 09.00. Kepadanya kemudian dilaporkan tentang ditemukannya sesosok jenazah yang mengapung beberapa ratus yards dari lokasi reruntuhan pesawat, yang oleh para nelayan setempat dibawa ke darat. Juga ditemukan barang-barang lain di antaranya sebuah dompet, buku harian pesawat, kartu-kartu nama, sarung pistol yang sudah tidak ada pistolnya, sarung pisau dengan tulisan nama Keegen di atasnya, dan beberapa potong pakaian.
Jenazah kemudian dibawa ke rumah sakit Lumut untuk dilakukan pemeriksaan. Berdasarkan bukti yang ada dapat dipastikan bahwa jenazah ini adalah jenazah Halim Perdanakusuma. Sedang nasib Iswahyudi hingga sekarang tidak diketahui karena tidak ditemukan jenazahnya. Berita tentang kecelakaan pesawat RI-003 ini segera tersiar luas, di antaranya dimuat dalam surat-surat kabar berbahasa lnggris The Times dan Malay Tribune terbitan tanggal 16 Desember 1947.
Banyak tokoh politik dan tokoh masyarakat Malaya menaruh perhatian terhadap peristiwa tersebut. Lebih-lebih mereka yang menaruh simpati terhadap perjuangan bangsa Indonesia. Diantaranya adalah Ketua Partai Kebangsaan Melayu Malaya (PKMM) bernama Ishak Haji Muhammad (Pak Sako) yang kebetulan sedang berada di Ipoh. Setelah mendengar berita tersebut, ia segera mengirim telegram kepada Ketua Cabang PKMM Didings bernama Nuruddin Tak untuk memberikan bantuannya. Dengan diketuai Nuruddin Tak dibentuk sebuah panitia pemakaman. Panitia segera menghubungi polisi Lumut untuk meminta izin mengadakan upacara pemakaman. Karena sebagian besar panitia terdiri dari anggota PKMM, Polisi Lumut yang sebagian besar terdiri dari orang Inggris mencurigai usaha ini. (PKMM adalah satu organisasi politik yang menuntut kemerdekaan lepas dari tangan Inggris). Lewat suatu perdebatan, akhimya izin diberikan dengan syarat tidak boleh diadakan secara besar-besaran. Karena di Lumut belum ada makam orang-orang Islam, maka panitia mencari daerah lain. Daerah tersebut adalah Teluk Murok terletak 5 km dari Lumut. Pada tanggal 19 Desember 1947 dilakukanlah upacara pemakaman menurut agama Islam. Dr. Utojo Wakil R.I. di Singapura tiba di Lumut. Beliau terlambat datang karena di beberapa tempat Malaya bagian barat sedang dilanda banjir. Di sekitar tempat kecelakaan, Dr. Utojo menemukan sebuah kipas dan pecahan piring, mangkok yang tersebar di tempat kemalangan. Kemungkinan semua itu adalah oleh-oleh untuk keluarga di rumah.
Dengan gugurnya Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma berarti bangsa dan negara harus merelakan seorang putra terbaiknya. Khususnya bagi Angkatan Udara berarti kehilangan seorang prajurit navigatornya yang cakap dan berpengalaman, yang justru sangat diperlukan pada saat itu. Lebih-Iebih diingat almarhum adalah salah satu dari 2 orang navigator yang dimiliki Angkatan Udara pada saat itu. Hilangnya almarhum berarti pula hilangnya seorang Perwira Operasi Angkatan Udara yang cepat dalam melakukan perencanaan, tegas dalam tindakan dan cepat dalam mengambil keputusan. Juga dengan gugurnya Halim berarti kehilangan salah satu pimpinan Angkatan Udara yang berani, penuh disiplin, bertanggung jawab dan disenangi baik oleh rekan maupun oleh bawahannya.
Halim meninggalkan seorang isteri bernama Koessadalina dan seorang anak laki-Iaki bernama Ian. Nama itu diberikan sebagai kenang-kenangan terhadap sahabat karibnya, seorang Wing Commander berkebangsaan Scoth yang gugur dalam Perang Dunia II sewaktu melakukan tugas penerbangan bersama Halim. Sebagai putera ketiga dari lima bersaudara, Halim mempunyai dua orang kakak dan dua orang adik. Salah seorang adiknya adalah Makki Perdanakusuma, Marsekal Muda TNI-AU.
Sesudah menyelesaikan tugas di Bangkok, RI-003 kembali berangkat menuju Singapura. Dalam perjalanan kembali inilah secara tiba-tiba di daerah Perak, Malaysia, cuaca buruk menyerangnya. Pesawat jatuh di pantai Tanjung Hantu, Perak, Malaysia.
Laporan pertama tentang kecelakaan diterima oleh polisi Lumut dari 2 orang warga Cina penebang kayu bemama Wong Fatt dan Wong Kwang pada sekitar pukul 16.30 tanggal 14 Desember 1947. Seorang petugas kepolisian berbangsa Inggris bernama Burras segera pergi ke tempat musibah. Pada pukul 18.00 ia tiba di tempat namun tidak menemukan sesuatu, air sedang pasang naik. Selanjutnya keesokan harinya Kepala Polisi Lumut bernama Che Wan dan seorang anggota Polisi Inggris bernama Samson berangkat ke tempat kecelakaan dan tiba di tempat pada pukul 09.00. Kepadanya kemudian dilaporkan tentang ditemukannya sesosok jenazah yang mengapung beberapa ratus yards dari lokasi reruntuhan pesawat, yang oleh para nelayan setempat dibawa ke darat. Juga ditemukan barang-barang lain di antaranya sebuah dompet, buku harian pesawat, kartu-kartu nama, sarung pistol yang sudah tidak ada pistolnya, sarung pisau dengan tulisan nama Keegen di atasnya, dan beberapa potong pakaian.
Jenazah kemudian dibawa ke rumah sakit Lumut untuk dilakukan pemeriksaan. Berdasarkan bukti yang ada dapat dipastikan bahwa jenazah ini adalah jenazah Halim Perdanakusuma. Sedang nasib Iswahyudi hingga sekarang tidak diketahui karena tidak ditemukan jenazahnya. Berita tentang kecelakaan pesawat RI-003 ini segera tersiar luas, di antaranya dimuat dalam surat-surat kabar berbahasa lnggris The Times dan Malay Tribune terbitan tanggal 16 Desember 1947.
Banyak tokoh politik dan tokoh masyarakat Malaya menaruh perhatian terhadap peristiwa tersebut. Lebih-lebih mereka yang menaruh simpati terhadap perjuangan bangsa Indonesia. Diantaranya adalah Ketua Partai Kebangsaan Melayu Malaya (PKMM) bernama Ishak Haji Muhammad (Pak Sako) yang kebetulan sedang berada di Ipoh. Setelah mendengar berita tersebut, ia segera mengirim telegram kepada Ketua Cabang PKMM Didings bernama Nuruddin Tak untuk memberikan bantuannya. Dengan diketuai Nuruddin Tak dibentuk sebuah panitia pemakaman. Panitia segera menghubungi polisi Lumut untuk meminta izin mengadakan upacara pemakaman. Karena sebagian besar panitia terdiri dari anggota PKMM, Polisi Lumut yang sebagian besar terdiri dari orang Inggris mencurigai usaha ini. (PKMM adalah satu organisasi politik yang menuntut kemerdekaan lepas dari tangan Inggris). Lewat suatu perdebatan, akhimya izin diberikan dengan syarat tidak boleh diadakan secara besar-besaran. Karena di Lumut belum ada makam orang-orang Islam, maka panitia mencari daerah lain. Daerah tersebut adalah Teluk Murok terletak 5 km dari Lumut. Pada tanggal 19 Desember 1947 dilakukanlah upacara pemakaman menurut agama Islam. Dr. Utojo Wakil R.I. di Singapura tiba di Lumut. Beliau terlambat datang karena di beberapa tempat Malaya bagian barat sedang dilanda banjir. Di sekitar tempat kecelakaan, Dr. Utojo menemukan sebuah kipas dan pecahan piring, mangkok yang tersebar di tempat kemalangan. Kemungkinan semua itu adalah oleh-oleh untuk keluarga di rumah.
Dengan gugurnya Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma berarti bangsa dan negara harus merelakan seorang putra terbaiknya. Khususnya bagi Angkatan Udara berarti kehilangan seorang prajurit navigatornya yang cakap dan berpengalaman, yang justru sangat diperlukan pada saat itu. Lebih-Iebih diingat almarhum adalah salah satu dari 2 orang navigator yang dimiliki Angkatan Udara pada saat itu. Hilangnya almarhum berarti pula hilangnya seorang Perwira Operasi Angkatan Udara yang cepat dalam melakukan perencanaan, tegas dalam tindakan dan cepat dalam mengambil keputusan. Juga dengan gugurnya Halim berarti kehilangan salah satu pimpinan Angkatan Udara yang berani, penuh disiplin, bertanggung jawab dan disenangi baik oleh rekan maupun oleh bawahannya.
Halim meninggalkan seorang isteri bernama Koessadalina dan seorang anak laki-Iaki bernama Ian. Nama itu diberikan sebagai kenang-kenangan terhadap sahabat karibnya, seorang Wing Commander berkebangsaan Scoth yang gugur dalam Perang Dunia II sewaktu melakukan tugas penerbangan bersama Halim. Sebagai putera ketiga dari lima bersaudara, Halim mempunyai dua orang kakak dan dua orang adik. Salah seorang adiknya adalah Makki Perdanakusuma, Marsekal Muda TNI-AU.
Penghargaan Atas Jasa-Jasanya
Dalam rangka memperingati Hari
Pahlawan 10 November 1975, kerangka jenazah almarhum yang bersemayam di
Malaysia, dimakamkan kembali dengan upacara kemiliteran di tempat yang lebih
layak, yakni di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Lebih dari semua
penghargaan itu, Abdul Halim Perdanakusuma telah mendapat tempat di hati
bangsanya.
RAWE - RAWE RANTAS MALANG - MALANG PUTUNG Pepatah ini berlaku bagi Abdul Halim Perdanakusuma yang tak gentar menghadapi lawan, resiko apapun akan dihadapi. Akhirnya ia gugur sebagai Pahlawan Bangsa.
RAWE - RAWE RANTAS MALANG - MALANG PUTUNG Pepatah ini berlaku bagi Abdul Halim Perdanakusuma yang tak gentar menghadapi lawan, resiko apapun akan dihadapi. Akhirnya ia gugur sebagai Pahlawan Bangsa.
Sumber:
majalah veteran vol.7
PUSJARAH TNI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar