Senin, 19 Oktober 2015

RPP PENGUPAHAN 2015

RANCANGAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
PENGUPAHAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 97 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGUPAHAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari Pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu Perjanjian Kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
2. Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima Upah atau imbalan dalam bentuk lain.
3. Pengusaha adalah:
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu Perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan Perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
4. Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan Pekerja/buruh dengan membayar Upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar Upah atau imbalan dalam bentuk lain.
5. Perjanjian Kerja yang selanjutnya disingkat PK adalah perjanjian antara Pekerja/buruh dengan Pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
6. Peraturan Perusahaan yang selanjutnya disingkat PP adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh Pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib Perusahaan.
7. Perjanjian Kerja Bersama yang selanjutnya disingkat PKB adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan Pengusaha, atau beberapa Pengusaha atau perkumpulan Pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
8. Hubungan Kerja adalah hubungan antara Pengusaha dengan Pekerja/buruh berdasarkan Perjanjian Kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, Upah, dan perintah.
9. Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran Hubungan Kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
10. Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk Pekerja/buruh baik di Perusahaan maupun di luar Perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan Pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan Pekerja/buruh dan keluarganya.
11. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 2
Hak pekerja/buruh atas Upah timbul pada saat terjadi Hubungan Kerja antara pekerja/buruh dengan Pengusaha dan berakhir pada saat putusnya Hubungan Kerja.
BAB II
KEBIJAKAN PENGUPAHAN

Pasal 3
(1) Kebijakan pengupahan diarahkan untuk pencapaian penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi Pekerja/buruh.
(2) Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Upah minimum;
b. Upah kerja lembur;
c. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f. bentuk dan cara pembayaran Upah;
g. denda dan potongan Upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan Upah;
i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. Upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
BAB III
PENGHASILAN YANG LAYAK

Pasal 4
(1) Penghasilan yang layak merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar.
(2) Penghasilan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk:
a. Upah; dan
b. pendapatan non Upah.
Pasal 5
(1) Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a terdiri atas komponen:
a. Upah tanpa tunjangan;
b. Upah pokok dan tunjangan tetap; atau
c. Upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap.
(2) Dalam hal komponen Upah terdiri dari Upah pokok dan tunjangan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, besarnya Upah pokok paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah Upah pokok dan tunjangan tetap.
(3) Dalam hal komponen Upah terdiri dari Upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, besarnya Upah pokok paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah Upah pokok dan tunjangan tetap.
(4) Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Pasal 6
(1) Pendapatan non Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b berupa tunjangan hari raya keagamaan.
(2) Selain tunjangan hari raya keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha dapat memberikan pendapatan non Upah berupa:
a. bonus;
b. uang pengganti fasilitas kerja; dan/atau
c. uang servis pada usaha tertentu.
Pasal 7
(1) Tunjangan hari raya keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) wajib diberikan oleh Pengusaha kepada pekerja/buruh.
(2) Tunjangan hari raya keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibayarkan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari raya keagamaan.
(3) Ketentuan mengenai tunjangan hari raya keagamaan dan tata cara pembayarannya diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 8
(1) Bonus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a dapat diberikan oleh Pengusaha kepada pekerja/buruh atas keuntungan Perusahaan.
(2) Penetapan perolehan bonus untuk masing-masing Pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Pasal 9
(1) Perusahaan dapat menyediakan fasilitas kerja bagi:
a. pekerja/buruh dalam jabatan/pekerjaan tertentu; atau
b. seluruh Pekerja/buruh.
(2) Dalam hal fasilitas kerja bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tersedia atau tidak mencukupi, Perusahaan dapat memberikan uang pengganti fasilitas kerja.
(3) Penyediaan fasilitas kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemberian uang pengganti fasilitas kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama.
Pasal 10
(1) Uang servis pada usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c dikumpulkan dan dikelola oleh Perusahaan.
(2) Uang servis pada usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibagikan kepada pekerja/buruh setelah dikurangi risiko kehilangan atau kerusakan dan pendayagunaan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
(3) Ketentuan mengenai uang servis pada usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB IV
PERLINDUNGAN UPAH

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 11
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh Upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya.
Bagian Kedua
Penetapan Upah

Pasal 12
Upah ditetapkan berdasarkan:
a. satuan waktu; dan/atau
b. satuan hasil.
Pasal 13
(1) Upah berdasarkan satuan waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a ditetapkan secara harian, mingguan, atau bulanan.
(2) Dalam hal Upah ditetapkan secara harian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perhitungan Upah sehari sebagai berikut:
a. bagi Perusahaan dengan sistem waktu kerja 6 (enam) hari dalam seminggu, Upah sebulan dibagi 25 (dua puluh lima); atau
b. bagi Perusahaan dengan sistem waktu kerja 5 (lima) hari dalam seminggu, Upah sebulan dibagi 21 (dua puluh satu).
Pasal 14 (1) Penetapan besarnya Upah berdasarkan satuan waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a dilakukan dengan berpedoman pada struktur dan skala Upah.
(2) Struktur dan skala Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun oleh Pengusaha dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
(3) Struktur dan skala Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampirkan oleh Perusahaan pada saat permohonan:
a. pengesahan dan pembaruan peraturan Perusahaan; atau
b. pendaftaran, perpanjangan, dan pembaruan Perjanjian Kerja bersama.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur dan skala Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 15
(1) Upah berdasarkan satuan hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b ditetapkan sesuai dengan hasil pekerjaan yang telah disepakati.
(2) Penetapan besarnya Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pengusaha berdasarkan hasil kesepakatan antara pekerja/buruh dengan Pengusaha.
Pasal 16
Penetapan Upah sebulan berdasarkan satuan hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b, untuk pemenuhan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan ditetapkan berdasarkan Upah rata-rata 3 (tiga) bulan terakhir yang diterima oleh pekerja/buruh.
Bagian Ketiga
Cara Pembayaran Upah

Pasal 17
(1) Upah wajib dibayarkan kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(2) Upah dapat dibayarkan kepada pihak ketiga dengan surat kuasa dari pekerja/buruh yang bersangkutan.
(3) Surat kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya berlaku untuk 1 (satu) kali pembayaran Upah.
Pasal 18
(1) Pengusaha wajib membayar Upah pada waktu yang telah diperjanjikan antara Pengusaha dengan Pekerja/buruh.
(2) Dalam hal hari atau tanggal yang telah disepakati jatuh pada hari libur atau hari yang diliburkan, atau hari istirahat mingguan, pelaksanaan pembayaran Upah diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Pasal 19
Pembayaran Upah oleh Pengusaha dilakukan dalam jangka waktu paling cepat seminggu 1 (satu) kali atau paling lambat sebulan 1 (satu) kali kecuali bila Perjanjian Kerja untuk waktu kurang dari satu minggu.
Pasal 20
Upah Pekerja/buruh harus dibayarkan seluruhnya pada setiap periode dan per tanggal pembayaran Upah.
Pasal 21
(1) Pembayaran Upah dilakukan dengan mata uang rupiah Negara Republik Indonesia.
(2) Dalam hal pembayaran Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan mata uang asing, pembayaran dilakukan berdasarkan kurs resmi pada hari dan tempat pembayaran.
(3) Pembayaran Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan pada tempat yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
(4) Dalam hal tempat pembayaran Upah tidak diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama, maka pembayaran Upah dilakukan di tempat pekerja/buruh biasanya bekerja.
Pasal 22
(1) Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dapat dibayarkan secara langsung atau melalui bank.
(2) Dalam hal Upah dibayarkan melalui bank, maka Upah harus sudah dapat diuangkan oleh Pekerja/buruh pada tanggal pembayaran Upah yang disepakati kedua belah pihak.
Bagian Keempat
Peninjauan Upah

Pasal 23
(1) Pengusaha melakukan peninjauan Upah secara berkala untuk penyesuaian harga kebutuhan hidup dan/atau peningkatan produktivitas kerja dengan mempertimbangkan kemampuan Perusahaan.
(2) Peninjauan Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Bagian Kelima
Upah Pekerja/buruh Tidak Masuk Kerja dan/atau
Tidak Melakukan Pekerjaan

Pasal 24
(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan.
(2) Pekerja/buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan:
a. berhalangan;
b. melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; atau
c. menjalankan hak waktu istirahatnya;
tetap dibayar Upahnya.
(3) Alasan pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena berhalangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; dan
c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena:
1) menikah;
2) menikahkan anaknya;
3) mengkhitankan anaknya;
4) membaptiskan anaknya;
5) isteri melahirkan atau keguguran kandungan;
6) suami, isteri, orang tua, mertua, anak, dan/atau menantu meninggal dunia; atau
7) anggota keluarga selain sebagaimana dimaksud pada angka 6) yang tinggal dalam satu rumah meninggal dunia.
(4) Alasan pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. menjalankan kewajiban terhadap negara;
b. menjalankan kewajiban ibadah yang diperintahkan agamanya;
c. melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan Pengusaha dan dapat dibuktikan dengan adanya pemberitahuan tertulis; atau
d. melaksanakan tugas pendidikan dari Perusahaan.
(5) Alasan Pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c apabila pekerja/buruh melaksanakan:
a. hak istirahat mingguan;
b. cuti tahunan;
c. istirahat panjang;
d. cuti sebelum dan sesudah melahirkan; atau
e. cuti keguguran kandungan.
Pasal 25
Pengusaha wajib membayar Upah apabila pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi Pengusaha tidak mempekerjakannya, karena kesalahan sendiri atau kendala yang seharusnya dapat dihindari Pengusaha.
Pasal 26
(1) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf a sebagai berikut:
a. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus persen) dari Upah;
b. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima persen) dari Upah;
c. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh persen) dari Upah; dan
d. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima persen) dari Upah sebelum Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan oleh Pengusaha.
(2) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh perempuan yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf b disesuaikan dengan jumlah hari menjalani masa sakit haidnya, paling lama 2 (dua) hari.
(3) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf c sebagai berikut:
a. Pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;
b. menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
c. mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari
d. membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
e. isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
f. suami, isteri, orang tua, mertua, anak, dan/atau menantu meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; atau
g. anggota keluarga selain sebagaimana dimaksud dalam huruf f yang tinggal dalam 1 (satu) rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1 (satu) hari.
Pasal 27
(1) Pekerja/buruh yang menjalankan kewajiban terhadap negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf a tidak melebihi 1 (satu) tahun dan penghasilan yang diberikan oleh negara kurang dari besarnya Upah yang biasa diterima pekerja/buruh, Pengusaha wajib membayar kekurangannya.
(2) Pekerja/buruh yang menjalankan kewajiban terhadap negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf a tidak melebihi 1 (satu) tahun dan penghasilan yang diberikan oleh negara sama atau lebih besar dari Upah yang biasa diterima Pekerja/buruh, Pengusaha tidak wajib membayar.
(3) Pekerja/buruh yang menjalankan kewajiban terhadap negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memberitahukan secara tertulis kepada Pengusaha.
Pasal 28
Pengusaha wajib membayar Upah kepada pekerja/buruh yang tidak masuk kerja atau tidak melakukan pekerjaannya karena menjalankan kewajiban ibadah yang diperintahkan oleh agamanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf b, sebesar Upah yang diterima oleh pekerja/buruh dengan ketentuan hanya sekali selama pekerja/buruh bekerja di Perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 29
Pengusaha wajib membayar Upah kepada pekerja/buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf c, sebesar Upah yang biasa diterima oleh pekerja/buruh.
Pasal 30
Pengusaha wajib membayar Upah kepada pekerja/buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena melaksanakan tugas pendidikan dari Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf d, sebesar Upah yang biasa diterima oleh pekerja/buruh.
Pasal 31
Pengusaha wajib membayar Upah kepada pekerja/buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5), sebesar Upah yang biasa diterima oleh pekerja/buruh.
Pasal 32
Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 31 ditetapkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama.
Bagian Keenam
Upah Kerja Lembur

Pasal 33
Upah kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b wajib dibayar oleh Pengusaha yang mempekerjakan Pekerja/buruh melebihi waktu kerja atau pada istirahat mingguan atau dipekerjakan pada hari libur resmi sebagai kompensasi kepada pekerja/buruh yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketujuh
Upah untuk Pembayaran Pesangon

Pasal 34
(1) Komponen Upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon terdiri atas:
a. Upah pokok; dan
b. tunjangan tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai Upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
(2) Dalam hal Pengusaha memberikan Upah tanpa tunjangan, dasar perhitungan uang pesangon dihitung dari besarnya Upah yang diterima pekerja/buruh.
Pasal 35
Upah untuk pembayaran pesangon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) diberikan dengan ketentuan :
a. dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 (tiga puluh) kali penghasilan sehari.
b. dalam hal Upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan Upah minimum provinsi atau kabupaten/kota.
c. dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan Upahnya didasarkan pada Upah borongan, maka perhitungan Upah sebulan dihitung dari Upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir. 
Bagian Kedelapan
Upah untuk Perhitungan Pajak Penghasilan
Pasal 36
(1) Upah untuk perhitungan pajak penghasilan yang dibayarkan untuk pajak penghasilan dihitung dari seluruh penghasilan yang diterima oleh pekerja/buruh.
(2) Pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibebankan kepada Pengusaha atau pekerja/buruh yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
(3) Upah untuk perhitungan pajak penghasilan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 
Bagian Kesembilan
Pembayaran Upah dalam Keadaan Kepailitan
Pasal 37
(1) Pengusaha yang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pernyataan pailit oleh pengadilan maka Upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan hutang yang didahulukan pembayarannya.
(2) Upah Pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Hak-hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya setelah pembayaran para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.
Pasal 38
Apabila pekerja/buruh jatuh pailit, Upah dan segala pembayarannya yang timbul dari Hubungan Kerja tidak termasuk dalam kepailitan kecuali ditetapkan lain oleh hakim dengan ketentuan tidak melebihi dari 25% (dua puluh lima persen). 
Bagian Kesepuluh
Penyitaan Upah Berdasarkan Perintah Pengadilan
Pasal 39
Apabila uang yang disediakan oleh Pengusaha untuk membayar Upah disita oleh juru sita berdasarkan perintah pengadilan maka penyitaan tersebut tidak boleh melebihi 20% (dua puluh persen) dari jumlah Upah yang harus dibayarkan. 
Bagian Kesebelas
Hak Pekerja/buruh Atas Keterangan Upah
Pasal 40
(1) Pekerja/buruh atau kuasa yang ditunjuk secara sah berhak meminta keterangan mengenai Upah untuk dirinya dalam hal keterangan terkait Upah tersebut hanya dapat diperoleh melalui buku Upah di Perusahaan.
(2) Apabila permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berhasil maka pekerja/buruh atau kuasa yang ditunjuk berhak meminta bantuan kepada pengawas ketenagakerjaan.
(3) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dirahasiakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V
UPAH MINIMUM
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 41
(1) Gubernur menetapkan Upah minimum sebagai jaring pengaman.
(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Upah bulanan terendah yang terdiri atas:
a. Upah tanpa tunjangan; atau
b. Upah pokok termasuk tunjangan tetap.
Pasal 42
(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) hanya berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada Perusahaan yang bersangkutan.
(2) Upah bagi pekerja/buruh dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih dirundingkan secara bipartit antara Pekerja/buruh dengan Pengusaha di Perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 43
(1) Penetapan Upah Minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dilakukan setiap tahun berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
(2) Penetapan Upah Minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan formula penetapan Upah minimum.
(3) Ketentuan mengenai formula penetapan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri dengan mengikutsertakan Kementerian/Lembaga terkait.
Pasal 44
(1) Kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) merupakan standar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik untuk kebutuhan 1 (satu) bulan.
(2) Kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas beberapa komponen kebutuhan hidup.
(3) Komponen kebutuhan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas beberapa jenis kebutuhan hidup.
(4) Komponen kebutuhan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan jenis kebutuhan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan peninjauan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sekali oleh Menteri berdasarkan hasil kajian yang dilaksanakan oleh Dewan Pengupahan Nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebutuhan hidup layak diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Penetapan Upah Minimum Provinsi dan Kabupaten/Kota

Pasal 45
(1) Gubernur wajib menetapkan Upah minimum provinsi.
(2) Upah minimum provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi.
(3) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirumuskan oleh Dewan Pengupahan Provinsi sesuai dengan tugasnya sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan perundang-undangan.
Pasal 46
(1) Gubernur dapat menetapkan Upah minimum kabupaten/kota.
(2) Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus lebih besar dari Upah minimum provinsi di provinsi yang bersangkutan.
Pasal 47
(1) Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ditetapkan dengan memperhatikan rekomendasi dari Bupati/Walikota serta saran dan pertimbangan dari Dewan Pengupahan Provinsi.
(2) Rekomendasi bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan saran dan pertimbangan dari Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota.
Pasal 48
Ketentuan lebih lanjut mengenai Upah minimum Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Penetapan Upah Minimum Sektoral Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota

Pasal 49
(1) Gubernur dapat menetapkan Upah minimum sektoral provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan hasil kesepakatan asosiasi Perusahaan dengan serikat pekerja/serikat buruh pada sektor yang bersangkutan.
(2) Penetapan Upah minimum sektoral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat saran dan pertimbangan mengenai sektor unggulan dari Dewan Pengupahan Provinsi atau Dewan Pengupahan kabupaten/kota sesuai dengan tugas dan kewenangannya.
(3) Upah minimum sektoral provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus lebih besar dari Upah minimum provinsi di provinsi yang bersangkutan.
(4) Upah minimum sektoral kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus lebih besar dari Upah minimum kabupaten/kota di kabupaten/kota yang bersangkutan.
Pasal 50
Ketentuan lebih lanjut mengenai Upah minimum sektoral provinsi dan kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VI
HAL-HAL YANG DAPAT DIPERHITUNGKAN DENGAN UPAH

Pasal 51
(1) Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan Upah terdiri atas:
a. denda;
b. ganti rugi;
c. pemotongan Upah untuk pihak ketiga;
d. uang muka Upah;
e. sewa rumah dan/atau sewa barang-barang milik Perusahaan yang disewakan oleh Pengusaha kepada Pekerja/buruh;
f. hutang atau cicilan hutang Pekerja/buruh kepada Pengusaha; dan/atau
g. kelebihan pembayaran Upah.
(2) Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf d, dilaksanakan sesuai dengan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Pasal 52
Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 yang
menjadi kewajiban pekerja/buruh yang belum dipenuhi dan/atau piutang pekerja/buruh yang menjadi hak Pekerja/buruh yang belum terpenuhi dapat diperhitungkan dengan semua hak yang diterima sebagai akibat Pemutusan Hubungan Kerja.
BAB VII
PENGENAAN DENDA DAN PEMOTONGAN UPAH
Bagian Kesatu
Pengenaan Denda

Pasal 53
Pengusaha atau Pekerja/buruh yang melanggar ketentuan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama karena kesengajaan atau kelalaiannya dikenakan denda apabila diatur secara tegas dalam suatu Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Pasal 54
(1) Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 yang terlambat membayar dan/atau tidak membayar Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dikenai denda, dengan ketentuan:
a. mulai dari hari keempat sampai hari kedelapan terhitung tanggal seharusnya Upah dibayar, dikenakan denda sebesar 5% (lima persen) untuk setiap hari keterlambatan dari Upah yang seharusnya dibayarkan;
b. sesudah hari kedelapan, apabila Upah masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a ditambah 1% (satu persen) untuk setiap hari keterlambatan dengan ketentuan 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari Upah yang seharusnya dibayarkan; dan
c. sesudah sebulan, apabila Upah masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b ditambah bunga sebesar suku bunga yang berlaku pada bank pemerintah.
(2) Pengenaan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban Pengusaha untuk tetap membayar Upah kepada pekerja/buruh.
Pasal 55
(1) Pengusaha yang terlambat membayar tunjangan hari raya keagamaan kepada pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dikenai denda sebesar 5% (lima persen) dari total tunjangan hari raya keagamaan yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban Pengusaha untuk membayar.
(2) Pengenaan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban Pengusaha untuk tetap membayar tunjangan hari raya keagamaan kepada Pekerja/buruh.
Pasal 56
(1) Denda kepada pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, Pasal 54 ayat (1), dan Pasal 55 ayat (1) dipergunakan hanya untuk kepentingan pekerja/buruh.
(2) Jenis-jenis pelanggaran yang dapat dikenakan denda, besaran denda dan penggunaan uang denda diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Bagian Kedua
Pemotongan Upah

Pasal 57
(1) Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk:
a. denda;
b. ganti rugi; dan/atau
c. uang muka Upah,
dilakukan sesuai dengan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Peraturan Kerja Bersama.
(2) Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk pihak ketiga hanya dapat dilakukan apabila ada surat kuasa dari pekerja/buruh.
(3) Surat kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setiap saat dapat ditarik kembali.
(4) Surat Kuasa dari Pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan untuk semua kewajiban pembayaran oleh pekerja/buruh terhadap negara atau iuran sebagai peserta pada suatu dana yang menyelenggarakan jaminan sosial yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan Peraturan perundang-undangan.
(5) Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk:
a. pembayaran hutang atau cicilan hutang pekerja/buruh; dan/atau
b. sewa rumah dan/atau sewa barang-barang milik Perusahaan yang disewakan oleh Pengusaha kepada pekerja/buruh.
harus dilakukan berdasarkan kesepakatan tertulis atau perjanjian tertulis.
(6) Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk kelebihan pembayaran Upah kepada pekerja/buruh dilakukan tanpa persetujuan pekerja/buruh.
Pasal 58
Jumlah keseluruhan pemotongan Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 paling banyak 50% (lima puluh persen) dari setiap pembayaran Upah yang diterima pekerja/buruh.
BAB VIII
SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 59
Pengusaha yang tidak membayar tunjangan hari raya keagamaan kepada pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu.
Pasal 60
Pengusaha yang tidak membagikan uang servis pada usaha tertentu kepada pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu.
Pasal 61
Pengusaha yang tidak menyusun struktur dan skala Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu.
Pasal 62
Pengusaha yang tidak membayar Upah sampai melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu.
Pasal 63
Pengusaha yang tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu.
Pasal 64
Pengusaha yang melakukan pemotongan Upah lebih dari 50% (lima puluh persen) dari setiap pembayaran Upah yang diterima Pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu.
Pasal 65
(1) Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 64 kepada Pengusaha.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan hasil pemeriksaan pengawas ketenagakerjaan yang berasal dari:
a. pengaduan; dan/atau
b. tindak lanjut hasil pengawasan ketenagakerjaan.
(3) Pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 66
Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf a sampai dengan Pasal 64 huruf a diberikan paling banyak 2 (dua) kali berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing 10 (sepuluh) hari.
Pasal 67
(1) Pengusaha yang telah dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis dan tidak melaksanakan kewajibannya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, dikenai sanksi administratif berupa tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu.
(2) Pengusaha yang telah dikenai sanksi administratif berupa tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajibannya untuk membayar hak pekerja/buruh.
Pasal 68
Gubernur, bupati/walikota, atau pejabat yang ditunjuk wajib menyampaikan laporan pengenaan sanksi administratif berupa tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf b sampai dengan Pasal 64 huruf b kepada Menteri.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 69
Pengusaha yang telah mempunyai struktur dan skala upah wajib melakukan penyesuaian pemberlakuan struktur dan skala upah berdasarkan Peraturan Pemerintah ini paling lama 2 (tahun) tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 70
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah yang mengatur pengupahan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 71
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3190), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 72
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN NOMOR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar