Dengan darah dan air mata, telah kita beli kemerdekaan ini. Syukur Alhamdulillah kita telah mempunyai sebuah Negara yang besar. Mungkin Negara yang keenam besarnya dalam dunia ini. Salah satu dasar yang telah kita pilih, ialah Kebangsaan. Tetapi rasa kebangsaan, bisa mendorong menimbulkan kekuatan dan bisa juga menimbulkan chauvinisme, kebangsaan sempit.
“Yang di awak segala benar, yang di orang segala bukan" Rasa kebangsaan bisa menimbulkan semacam Hitler-isme, dan itulah yang menghancur leburkan Jerman. Kita terdiri dari berbagai ragam suku bangsa, dan setiap sukubangsa mempunyai kemegahan sendiri, mempunyai "dongeng" sendiri, tentang kebesaran nenek moyangnya. Mempunyai "pahlawan" sendiri, pahlawan khayali! Jika sukubangsa Jawa memegahkan Gajah Mada-nya, Minangkabau pun mempunyai Cindur Mata, dan Melayu pun mempunyai Hang Tuah. Dan biasanya, bilamana "Pahlawan Khayal" itu telah lama mati, kian banyaklah ditimbulkan atas dirinya tambahan dongeng sehingga dari manusia biasa, mereka dinaikkan jadi dewa. Sebab itu maka kebangsaan yang demikian, dapatlah memecahkan persatuan yang telah kita capai dan kemerdekaan yang telah ada di dalam tangan kita. Tidaklah di luar daripada ukuran ilmu pengetahuan sejarah, jika saya katakan bahwasanya ajaran Agama Islam telah turut menanamkan rasa Kesatuan Kebangsaan yang ada sekarang ini, sejak ratusan tahun yang telah lalu.
Ajaran Islam menekankan rasa kebaktian di tanah mana, di daerah manapun kita berdiam. Kehidupan itu adalah Iman dan Amal Shaleh, dasarnya ialah Taqwa kepada Allah. Kepada orang tidak ditanyakan apakah bangsanya, yang ditanya lebih dahulu adalah keagamaannya dan baktinya! Berkali-kali sejarah menunjukkan bahwa orang dari daerah lain dapat menjadi orang besar dalam satu negeri, di dalam seluruh kepulauan Indonesia ini, walaupun nama Indonesia belum dikenal pada masa itu.
'Sunan Gunung Jati", atau Fatahillah, atau Maulana Hidayatullah, adalah keturunan Arab yang telah bercampur dengan darah Aceh. Dia menyiarkan Agama Islam ke Jawa Barat, dan dialah yang mendirikan Kerajaan Bantam dan Cirebon.
"Ki Gedeng Suro”, seorang bangsawan dari Demak, ketika di Demak timbul kekacauan, ia melarikan diri ke Palembang. Dia diterima dan diangkat menjadi Raja Islam yang pertama dalam Kerajaan Palembang. Orang-orang Melayu dari Malaka yang terpaksa meninggalkan tanah airnya, karena Portugis telah menaklukkan Kerajaan Islam Malaka (1511), mereka mengembara sampai ke Sulawesi dan menyiarkan Agama Islam di Makassar. Mereka dihormati sebagai saudara seagama, dan gelar "Incek" masih dipakai oleh keturunan Melayu itu di Makassar sampai sekarang. Demikian juga setelah Kerajaan Goa dan Tallo menerima Islam sebagai agama resmi di tahun 1603, yang dibawa ke dalam istana oleh Muballigh-muballigh dari Minangkabau, merekapun diterima dengan tangan terbuka. Mereka tidak dipandang hina sebagai "orang pendatang", karena yang mereka bawa bukanlah permusuhan, tetapi "Nur cahaya Ilahi”. Setelah Kerajaan Bugis dan Makassar jatuh ke dalam cengkeraman Kompeni Belanda, maka hangatnya nafas ke-Islam-an telah menjalar di seluruh rongga jiwa putera Bugis Makassar. Merekapun mengembara di seluruh Indonesia, kadang-kadang menghalang-halangi perjalanan kapal-kapal Kompeni, kadang-kadang menjadi penyiar Agama Islam pula.
"Karaeng Galesong" pergi ke Madura, dan diterima menjadi menantu oleh Trunojoyo. Dan berjuang bersama-sama melawan Kompeni Belanda.
"Syekh Yusuf Taju'l Khalwati" mengembara dari Makassar sampai ke Bantam, lalu diterima menjadi Mufti Kerajaan Bantam oleh Sultan Ageng Tirtayasa, dan berjuang pula di samping Sultan melawan Kompeni Belanda.
"Si Untung" diberi gelar bangsawan oleh Sultan Cirebon, "Surapati" dan diberi gelar bangsawan pula, oleh Amangkurat Mataram "Wironegoro”, padahal dia asal budak, asal dari pulau Bali dan dahulunya "kafir" penyembah berhala. Tetapi karena dia telah Islam dan berjuang untuk kemerdekaan, dia diterima menjadi bangsawan Jawa, dan berjuang pula melawan Kompeni Belanda. Sesudah punah keturunan pihak laki-laki dari Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam di Aceh, berkah-kali keturunan Arab yang telah berdarah Indonesia menjadi Sultan di Aceh, sampai empat Sultan. Dan diangkat juga orang Arab menjadi Sultan di Siak dan Pontianak dan di Perlis (Malaya). Dan setelah punah pula keturunan Arab, dirajakan di Aceh keturunan Bugis. Bahkan 7 Sultan Aceh turun temurun, sampai berjuang melawan Belanda di tahun 1870, adalah berdarah Bugis. Sultan Deli adalah keturunan Raja-raja Moghul di India! Islam tidak membedakan di antara keturunan Arab bangsa Said, dengan keturunan budak belian dari Bali, dan pengembara lautan dari Bugis, semuanya diterima dengan "Ahlan wasahlan”, yang dihitung bukan bangsa dan keturunan, tetapi bakti dan jasanya dan tujuan hidupnya.
Inilah pusaka nenek moyang, bekas ajaran Islam, yang harus kita pegang teguh menjadi modal untuk menegakkan kebangsaan kita sekarang ini. Jangan kita pindah kembali ke Zaman Jahiliyah, membuka si tambo lama yang dapat menimbulkan dendam sakit hati.
Bertambah mendalam ke-"Fanatik "-kan Agama Islam di satu daerah, bertambah luaslah dadanya menerima tetamu. Walaupun tetamu itu orang Kristen! Ingatlah di zaman perjuangan kemerdekaan! Tatkala tuan I.J. Kasimo seorang pemeluk Katholik berjalan dari desa ke desa bersama Dr. Soekhnan, meskipun rakyat Islam di desa itu tahu bahwa beliau seorang Katholik, dia telah dihormati sebagai menghormati Pak Kiman juga. Sampai sama-sama dibuatkan baju untuk mengembara di hutan! Sampai terlanjur dari mulut Pak Kasimo: "Ah! Biarlah saya menjadi Penasihat Masyumi saja !" Tatkala Sdr. Hoetasoit (ex Sekjen Kem. PP dan K) dan Ir. Sitompul turut berdarurat di daerah Minangkabau di zaman Agresi; Belanda yang kedua, dia disambut di kampung-kampung sebagai menyambut keluarga juga, walaupun orang tahu dia orang-orang Kristen. Demikian murni ajaran Islam, yang memandang orang karena baktinya, bukan karena suku bangsanya, maka haruslah kita kembali kepada ajaran itu, di dalam membina kebangsaan kita sekarang ini. Kita terdiri dari beribu pulau! Kita terdiri dari beratus suku bangsa, yang masing-masing mempunyai kemegahan sendiri. Untuk mengokohkan kesatuan, carilah alat perekat yang asli, teladan dari langit! Jangan dengan Gajah Mada, Hayam Wuruk, jangan dengan Hang Tuah dan Cindur Mata! Tetapi dengan ISLAM, karena itulah pokok damai kita!
Dari perbendaharaan lama
Buya Hamka